Hati galau tak ada hirau
Hati sedih tak ada peduli
Hati pilu tak ada tahu
Hati merana tak ada sapa
Pada siapa ku mengadu
Pada siapa ku menangis
Pada siapa ku berkeluh
Illahi...
Kau sandaran hidupku
Kau curahan hatiku
Kau tumpuan harapanku
Ya Robbi...
Jangan pernah bosan akan kedatanganku
Jangan pernah bosan akan rengekanku
Jangan pernah bosan tuk menenangkanku
Kemana lagi ku tuangkan segala rasa
suka, gembira, sedih dan duka
kalau bukan kepadaMu
Karena hanya Kau yang mengerti hatiku
Terima kasih ya Allah...
Atas segala nikmatMu
Dan segala pertolonganMu
Ampuni segala salah dan khilafku...
Warna Hidupku
Rabu, 28 April 2010
Jumat, 16 Oktober 2009
Hikmah dari Seorang Pejalan Kaki
Kehidupan....
Sungguh banyak yang kita lupa akan syukur,
ditengah kesulitan seringkali kebuntuan menghantui kita, seolah tidak pernah dan tidak akan pernah ada jalan keluar.
Suatu hari aku ngobrol dengan seorang pedagang mi dengan metode keliling sambil mendorong gerobak. Dia diberi pilihan untuk berjualan mangkal di suatu tempa. Belum genap satu minggu dia pun mulai gelisah ternyata dia tidak mau diam ditempat karena membosankan katanya.
Pagi harinya aku mencarinya karena ada suatu urusan, kata temannya dia sedang menengok istrinya yang jaraknya kurang lebih 8 km dari tempat dia berjualan. "Lho, bukannya semalem dia (jam 21.00) masih ada? sama siapa? dan naik apa?" tanyaku. "Jalan kaki bu..." jawab temannya. Jalan kaki? pikirku dengan kebingungan. "O...dia sih sudah biasa bu kemana-mana jalan kaki." Percakapan itu berlalu begitu saja dengan meninggalkan sejumlah tanda tanya.
Esoknya kami (aku dan suami) bertemu dengan pedagang mi yang kami cari, dan kami ajak dia ke rumah kami yang jaraknya kurang lebih 10 km dari tempat istrinya tinggal (lebih jauh dari tempat dia mangkal). Di sepanjang jalan kami ngobrol salah satunya dengan topik "jalan kaki"nya menuju kontrakannya. Jawabannya pun membuat kami berfikir. "Sudah biasa pak, paling juga cuma satu jam" jawabnya kepada suamiku dengan entengnya. Jalan kaki? hari gini? Masih ada ya orang yang tinggal dikota tapi masih mau jalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo...pikir kami sambil belum bisa mengerti.
Sambil masih terngiang-ngiang ucapan pedagang tadi akhirnya urusan kami pun selesai dan seiring berlalunya pedagang tadi kami pun langsung membahas keheranan kami.
10 Km ditempuh dengan jalan kaki hampir setiap urusan. Dia tidak mengandalkan begitu banyak pilihan alat transportasi yang ada. Kalau dilihat usianya dia pun bukan orang produk jaman dulu (yang untuk menuju suatu tempat cukup dengan jalan kaki). Bandingkan dengan kita (kami-red dan kebanyakan orang), kalau mau kemana-mana harus naik mobil atau naik motor atau naik angkot. Kalau kesemuanya itu tidak ada ya..sudah tidak jadi pergi (meski sekarang digalakkan lagi dengan naik sepeda tapi belum begitu terbiasa kembali) alias ditunda urusannya sekalipun itu penting dengan alasan "tidak ada kendaraan" orang-orang pun memaklumi.
Sampai disini kami berfikir dan merenungi, inilah sebuah jawaban bahwa setiap kesulitan kita tidak boleh menyerah, sesulit apapun. Pasti ada jalan keluar selama kita mau berusaha mencari jalan keluar itu. Tergambar dengan bapak pedagang tadi dan mungkin masih banyak yang bergaya hidup demikian. Tidak bisa naik mobil ya naik motor, tidak ada motor ya naik sepeda, tidak ada sepeda ya jalan kaki toh Allah sudah memberikan kita fasilitas yang sempurna. Begitu pun dengan kehidupan kita ini perlu kreatifitas dan kemauan. Hilangkan rasa gengsi...
Alhamdulillah ya Allah satu lagi pencerahan yang langsung di depan mata Kau tunjukkan kepada kami untuk lebih lagi menambah semangat hidup kami. Semoga kami bisa mengambil hikmah dari setiap apa yang kami hadapi.
Wallahu a'lam
Sungguh banyak yang kita lupa akan syukur,
ditengah kesulitan seringkali kebuntuan menghantui kita, seolah tidak pernah dan tidak akan pernah ada jalan keluar.
Suatu hari aku ngobrol dengan seorang pedagang mi dengan metode keliling sambil mendorong gerobak. Dia diberi pilihan untuk berjualan mangkal di suatu tempa. Belum genap satu minggu dia pun mulai gelisah ternyata dia tidak mau diam ditempat karena membosankan katanya.
Pagi harinya aku mencarinya karena ada suatu urusan, kata temannya dia sedang menengok istrinya yang jaraknya kurang lebih 8 km dari tempat dia berjualan. "Lho, bukannya semalem dia (jam 21.00) masih ada? sama siapa? dan naik apa?" tanyaku. "Jalan kaki bu..." jawab temannya. Jalan kaki? pikirku dengan kebingungan. "O...dia sih sudah biasa bu kemana-mana jalan kaki." Percakapan itu berlalu begitu saja dengan meninggalkan sejumlah tanda tanya.
Esoknya kami (aku dan suami) bertemu dengan pedagang mi yang kami cari, dan kami ajak dia ke rumah kami yang jaraknya kurang lebih 10 km dari tempat istrinya tinggal (lebih jauh dari tempat dia mangkal). Di sepanjang jalan kami ngobrol salah satunya dengan topik "jalan kaki"nya menuju kontrakannya. Jawabannya pun membuat kami berfikir. "Sudah biasa pak, paling juga cuma satu jam" jawabnya kepada suamiku dengan entengnya. Jalan kaki? hari gini? Masih ada ya orang yang tinggal dikota tapi masih mau jalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo...pikir kami sambil belum bisa mengerti.
Sambil masih terngiang-ngiang ucapan pedagang tadi akhirnya urusan kami pun selesai dan seiring berlalunya pedagang tadi kami pun langsung membahas keheranan kami.
10 Km ditempuh dengan jalan kaki hampir setiap urusan. Dia tidak mengandalkan begitu banyak pilihan alat transportasi yang ada. Kalau dilihat usianya dia pun bukan orang produk jaman dulu (yang untuk menuju suatu tempat cukup dengan jalan kaki). Bandingkan dengan kita (kami-red dan kebanyakan orang), kalau mau kemana-mana harus naik mobil atau naik motor atau naik angkot. Kalau kesemuanya itu tidak ada ya..sudah tidak jadi pergi (meski sekarang digalakkan lagi dengan naik sepeda tapi belum begitu terbiasa kembali) alias ditunda urusannya sekalipun itu penting dengan alasan "tidak ada kendaraan" orang-orang pun memaklumi.
Sampai disini kami berfikir dan merenungi, inilah sebuah jawaban bahwa setiap kesulitan kita tidak boleh menyerah, sesulit apapun. Pasti ada jalan keluar selama kita mau berusaha mencari jalan keluar itu. Tergambar dengan bapak pedagang tadi dan mungkin masih banyak yang bergaya hidup demikian. Tidak bisa naik mobil ya naik motor, tidak ada motor ya naik sepeda, tidak ada sepeda ya jalan kaki toh Allah sudah memberikan kita fasilitas yang sempurna. Begitu pun dengan kehidupan kita ini perlu kreatifitas dan kemauan. Hilangkan rasa gengsi...
Alhamdulillah ya Allah satu lagi pencerahan yang langsung di depan mata Kau tunjukkan kepada kami untuk lebih lagi menambah semangat hidup kami. Semoga kami bisa mengambil hikmah dari setiap apa yang kami hadapi.
Wallahu a'lam
Minggu, 05 Juli 2009
Ibu...Kau Selalu Mendidikku
Aku sedang duduk berdua bercengkerama dengan suamiku di ruang keluarga. Biasa membahas berbagai masalah yang kami hadapi, baik secara langsung maupun tidak. Dari yang sedang memanas, menghangat maupun mendingin (klise).
Pagi itu disela-sela "ngteh" kami membaca koran dan sesekali melihat berita tv yang sedang hangat,kami membahas dan bertukar pikiran tentang besarnya kasih sayang kedua orangtua dan dampak dalam kehidupan kita. Terutama Ibu, yang rasulpun sampai mengucapkan 3 kali baru disusul dengan jawaban Bapak setelah ditanya oleh sahabat rasul 'siapa yang pantas dihormati'.
Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tak perlu diragukan lagi. Dan benar-benar ibu mendidik kita setiap saat, setiap waktu hingga akhir hayatnya. Dari sebelum terbentuk dalam kandungan hingga kita besar dan berkeluarga sendiri kita tetap selalu mendapat pendidikan dari beliau.
Ada sebuah kisah dari teman, menjelang kembalinya sang ibu kepada Khaliknya.
Kala itu sang ibu sedang sakit keras diusianya yang sudah lanjut. Kejadian ini sewaktu sang ibu dirawat di rumah sakit. Selama hidupnya kasih sayang dan waktunya tercurah untuk merawat, mendidik dan menjaga keluarga (suami dan anak-anaknya) dengan ikhlas. Dan mungkin balasan dari Allahlah keluarga (suami dan anak-anaknya) pun sangat menyayangi dan menghormati beliau, hanya saja masing-masing mempunyai gaya sendiri-sendiri.
Dari sekian anak-anaknya ada seorang anaknya (fulan) yang wujud kasih sayang ke orangtuanya lain dari yang lain, selalu menjajikan yang indah untuk orangtua dan membuat kata-kata yang menyenangkan dan memberi harapan lebih kepada orangtua namun realisasinya menurut orangtuanya tsb masih kurang.
Mungkin sang ibu merasa usianya tinggal beberapa hari lagi akhirnya dengan kekuatan hati (yang selama ini dipendam dalam diamnya) memanggil si fulan yang kala itu kebetulan sedang menunggui sang ibu di RS bersama kakak perempuannya (fulanah), dan apa yang diucapkannya pun sungguh diluar dugaan mereka, "Nak, tolong beri aku uang." Deg. Hati sang anak pilu. Dengan cepat sambil mengulurkan tangan dengan sejumlah uang sambil berkata "ibu, ini ada uang sekian dulu kalo ibu masih memerlukan ibu tinggal bilang saja berapa jumlahnya ya..." katanya lirih sambil menahan tetes airmata. Sebenarnya orangtua dan keluarganya tahu hati sang anak ini lembut hanya saja tidak bisa ditebak. Buru-buru keluarlah sang anak dari ruang rawat sang ibu, khawatir kalau terurai airmata di sana akan menambah pilu sang ibu.
Lain halnya suasana di dalam ruang rawat, sang ibu tersenyum bahkan ada sedikit tawa yang ditujukan kepada anak perempuannya, fulanah. Masih dalam suasana haru akan peristiwa yang dia saksikan, fulanahpun bertanya kepada ibunya kenapa malah tersenyum-senyum. Beliaupun menjawab, "aku hanya ngetes apakah si fulan tadi masih lembut hatinya dan benar-benar menyayagi ibunya." Terjawab sudah kebingungan dia. Padahal selama ini ibunya tidak meminta uang secara terang-terangan, hanya pengertian dari anak-anaknya saja kenapa kok malah menjelang kepergiannya malah uang yang diminta. Ternyata terjawab sudah apa maksud dari ibunya.
Bisa diambil pelajaran bahwa pada detik-detik akhir usianyapun seorang ibu tak henti memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Demikianlah cerita dari seorang teman dan uang yang diberi oleh sang fulanpun kemudian dibagi-bagikan kepada cucu-cucunya dan anak serta kerabat yang lebih membutuhkan. Sungguh seorang ibu adalah pendidik dan manajer yang handal.
Salut dan hormat serta sayang untuk ibu...
Manfaatkan waktu bagi saudara-saudaraku yang ibu dan ayahnya masih ada didunia ini.
Jangan sampai sesal mengikuti langkah kita.
Bagi yang sudah ditinggal pergi marilah kita do'akan untuk kebahagiaan mereka di alam sana. Amin.
*mohon maaf bila ada kisah/kejadian yang sama, kami hanya bermaksud untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari sebuah kehidupan.
Pagi itu disela-sela "ngteh" kami membaca koran dan sesekali melihat berita tv yang sedang hangat,kami membahas dan bertukar pikiran tentang besarnya kasih sayang kedua orangtua dan dampak dalam kehidupan kita. Terutama Ibu, yang rasulpun sampai mengucapkan 3 kali baru disusul dengan jawaban Bapak setelah ditanya oleh sahabat rasul 'siapa yang pantas dihormati'.
Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tak perlu diragukan lagi. Dan benar-benar ibu mendidik kita setiap saat, setiap waktu hingga akhir hayatnya. Dari sebelum terbentuk dalam kandungan hingga kita besar dan berkeluarga sendiri kita tetap selalu mendapat pendidikan dari beliau.
Ada sebuah kisah dari teman, menjelang kembalinya sang ibu kepada Khaliknya.
Kala itu sang ibu sedang sakit keras diusianya yang sudah lanjut. Kejadian ini sewaktu sang ibu dirawat di rumah sakit. Selama hidupnya kasih sayang dan waktunya tercurah untuk merawat, mendidik dan menjaga keluarga (suami dan anak-anaknya) dengan ikhlas. Dan mungkin balasan dari Allahlah keluarga (suami dan anak-anaknya) pun sangat menyayangi dan menghormati beliau, hanya saja masing-masing mempunyai gaya sendiri-sendiri.
Dari sekian anak-anaknya ada seorang anaknya (fulan) yang wujud kasih sayang ke orangtuanya lain dari yang lain, selalu menjajikan yang indah untuk orangtua dan membuat kata-kata yang menyenangkan dan memberi harapan lebih kepada orangtua namun realisasinya menurut orangtuanya tsb masih kurang.
Mungkin sang ibu merasa usianya tinggal beberapa hari lagi akhirnya dengan kekuatan hati (yang selama ini dipendam dalam diamnya) memanggil si fulan yang kala itu kebetulan sedang menunggui sang ibu di RS bersama kakak perempuannya (fulanah), dan apa yang diucapkannya pun sungguh diluar dugaan mereka, "Nak, tolong beri aku uang." Deg. Hati sang anak pilu. Dengan cepat sambil mengulurkan tangan dengan sejumlah uang sambil berkata "ibu, ini ada uang sekian dulu kalo ibu masih memerlukan ibu tinggal bilang saja berapa jumlahnya ya..." katanya lirih sambil menahan tetes airmata. Sebenarnya orangtua dan keluarganya tahu hati sang anak ini lembut hanya saja tidak bisa ditebak. Buru-buru keluarlah sang anak dari ruang rawat sang ibu, khawatir kalau terurai airmata di sana akan menambah pilu sang ibu.
Lain halnya suasana di dalam ruang rawat, sang ibu tersenyum bahkan ada sedikit tawa yang ditujukan kepada anak perempuannya, fulanah. Masih dalam suasana haru akan peristiwa yang dia saksikan, fulanahpun bertanya kepada ibunya kenapa malah tersenyum-senyum. Beliaupun menjawab, "aku hanya ngetes apakah si fulan tadi masih lembut hatinya dan benar-benar menyayagi ibunya." Terjawab sudah kebingungan dia. Padahal selama ini ibunya tidak meminta uang secara terang-terangan, hanya pengertian dari anak-anaknya saja kenapa kok malah menjelang kepergiannya malah uang yang diminta. Ternyata terjawab sudah apa maksud dari ibunya.
Bisa diambil pelajaran bahwa pada detik-detik akhir usianyapun seorang ibu tak henti memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Demikianlah cerita dari seorang teman dan uang yang diberi oleh sang fulanpun kemudian dibagi-bagikan kepada cucu-cucunya dan anak serta kerabat yang lebih membutuhkan. Sungguh seorang ibu adalah pendidik dan manajer yang handal.
Salut dan hormat serta sayang untuk ibu...
Manfaatkan waktu bagi saudara-saudaraku yang ibu dan ayahnya masih ada didunia ini.
Jangan sampai sesal mengikuti langkah kita.
Bagi yang sudah ditinggal pergi marilah kita do'akan untuk kebahagiaan mereka di alam sana. Amin.
*mohon maaf bila ada kisah/kejadian yang sama, kami hanya bermaksud untuk mengambil ibrah (pelajaran) dari sebuah kehidupan.
Selasa, 21 April 2009
Sebuah Perubahan
Dulu, tanpa kusadari aku telah menyakiti hati orang tua.
Dulu, sering mengomentari saudaraku
Dulu, tanpa kusadari telah menyakiti teman-temanku
Dulu, tanpa kusadari telah berlaku sinis kepada kawanku
Dulu, sering ku menyalahkan lingkunganku
Dulu…
Dulu…
Dulu…
Dengan dalih ingin mengamalkan ilmu yang diterima
Aku tidak berfikir dua kali untuk berkata sinis
Merasa sok tahu bila dinasehati orang tua
Tausyiah orang alim dilewatkan
Merasa diri ini benar
Merasa yang lain salah
Hanya yang benar-benar sefaham yang aku dengarkan
Yang aku setujui
Dan yang aku dukung
Menganggap mereka lemah iman
Menganggap mereka tersesat
Menganggap mereka keluar dari nilai-nilai islam
Menganggap…
Menganggap…
Menganggap…
Hari demi hari
Minggu demi minggu
Bulan demi bulan
Tahun berganti tahun
Tahun pertama..
Tahun kedua..
Tahun ketiga..
Dst…dst…
Hingga tiba saatnya aku berfikir…
Katanya orang beriman tidak mengenal stress
Katanya sesama muslim itu bersaudara
Katanya tidak boleh menganggap golongan sendiri itu paling benar
Katanya tidak boleh mengolok suatu kaum karena mungkin kaum itu lebih baik dari kaum sendiri…
Katanya tidak boleh su’udzon…
Katanya..
Katanya…
Katanya…
Namun setelah introspeksi
Kok apa yang dilakukan malah berlawanan dengan semua itu, padahal aku merasa semua yang kuperbuat lagi-lagi dengan dalih ingin menjadi muslim yang kaffah, ingin menjadi golongan orang-orang mukmin.
Suka su’udzon terhadap orang yang tidak sefaham
Suka mencibir kaum lain (notabenenya mereka muslim taat)
Menganggap golongan sendiri adalah yang benar sedang golongan yang lain adalah salah
Sesama saudara muslim bersaing hingga ukhuwah islamiyahnya koyak…
Ujung-ujungnya otak terasa panas, kepala berat karena tidak bisa menerima realita, dan keikhlasan untuk meraih ridho Allah ternyata semu.
Karena malu terhadap teman klo tidak sesuai dengan ilmu yang didapat,
malu karena begini malu karena begitu ….
Ternyata itu semua bukan malu terhadap Allah tapi malu terhadap guru, malu terhadap murobbi, malu terhadap teman, dan orang-orang….(terkadang sekarang pun masih merasa demikian…namun tetap berusaha untuk Lillahita’ala…mengharap ridho Allah, insyaAllah)
Hingga stress pun muncul karena menahan beban berat dikepala karena target yang tak tercapai…
Setelah sekian tahun waktu demi waktu akhirnya ku mendapatkan jawaban kenapa beban terasa beraaaaat, otak terasa panas, kepala pening…
Itu semua terjadi karena kurang berserah diri, kurang tawakal, dan mungkin tanpa kusadari yang aku lakukan bukan karena mencari keridhoanNya tapi mencari nilai dimata manusia.
Berbuat ikhlas memanglah tidak mudah tapi harus bisa.
Kini selalu berusaha untuk tawakal apapun yang terjadi berusaha dan berdo’a hasilnya dikembalikan kepadaNya…maka akan bisa menghadapi hidup ini dengan lebih percaya diri…
Semoga Allah senantiasa melindungi dan menunjukkan jalan yang diridhoiNya…Amin…
Dulu, sering mengomentari saudaraku
Dulu, tanpa kusadari telah menyakiti teman-temanku
Dulu, tanpa kusadari telah berlaku sinis kepada kawanku
Dulu, sering ku menyalahkan lingkunganku
Dulu…
Dulu…
Dulu…
Dengan dalih ingin mengamalkan ilmu yang diterima
Aku tidak berfikir dua kali untuk berkata sinis
Merasa sok tahu bila dinasehati orang tua
Tausyiah orang alim dilewatkan
Merasa diri ini benar
Merasa yang lain salah
Hanya yang benar-benar sefaham yang aku dengarkan
Yang aku setujui
Dan yang aku dukung
Menganggap mereka lemah iman
Menganggap mereka tersesat
Menganggap mereka keluar dari nilai-nilai islam
Menganggap…
Menganggap…
Menganggap…
Hari demi hari
Minggu demi minggu
Bulan demi bulan
Tahun berganti tahun
Tahun pertama..
Tahun kedua..
Tahun ketiga..
Dst…dst…
Hingga tiba saatnya aku berfikir…
Katanya orang beriman tidak mengenal stress
Katanya sesama muslim itu bersaudara
Katanya tidak boleh menganggap golongan sendiri itu paling benar
Katanya tidak boleh mengolok suatu kaum karena mungkin kaum itu lebih baik dari kaum sendiri…
Katanya tidak boleh su’udzon…
Katanya..
Katanya…
Katanya…
Namun setelah introspeksi
Kok apa yang dilakukan malah berlawanan dengan semua itu, padahal aku merasa semua yang kuperbuat lagi-lagi dengan dalih ingin menjadi muslim yang kaffah, ingin menjadi golongan orang-orang mukmin.
Suka su’udzon terhadap orang yang tidak sefaham
Suka mencibir kaum lain (notabenenya mereka muslim taat)
Menganggap golongan sendiri adalah yang benar sedang golongan yang lain adalah salah
Sesama saudara muslim bersaing hingga ukhuwah islamiyahnya koyak…
Ujung-ujungnya otak terasa panas, kepala berat karena tidak bisa menerima realita, dan keikhlasan untuk meraih ridho Allah ternyata semu.
Karena malu terhadap teman klo tidak sesuai dengan ilmu yang didapat,
malu karena begini malu karena begitu ….
Ternyata itu semua bukan malu terhadap Allah tapi malu terhadap guru, malu terhadap murobbi, malu terhadap teman, dan orang-orang….(terkadang sekarang pun masih merasa demikian…namun tetap berusaha untuk Lillahita’ala…mengharap ridho Allah, insyaAllah)
Hingga stress pun muncul karena menahan beban berat dikepala karena target yang tak tercapai…
Setelah sekian tahun waktu demi waktu akhirnya ku mendapatkan jawaban kenapa beban terasa beraaaaat, otak terasa panas, kepala pening…
Itu semua terjadi karena kurang berserah diri, kurang tawakal, dan mungkin tanpa kusadari yang aku lakukan bukan karena mencari keridhoanNya tapi mencari nilai dimata manusia.
Berbuat ikhlas memanglah tidak mudah tapi harus bisa.
Kini selalu berusaha untuk tawakal apapun yang terjadi berusaha dan berdo’a hasilnya dikembalikan kepadaNya…maka akan bisa menghadapi hidup ini dengan lebih percaya diri…
Semoga Allah senantiasa melindungi dan menunjukkan jalan yang diridhoiNya…Amin…
Senin, 16 Februari 2009
STOK KESABARAN
Dulu sering mendengar ungkapan bahwa "yang lebih tua harus banyak mengalah", "yang lebih tua harus lebih bersabar", "yang lebih tua harus bisa menjadi panutan", yang lebih tua bla...bla...bla...
Seiring dengan bertambahnya usia perkawinan otomatis bertambah pula umur dan pengalaman (serta tak ketinggalan bertambah pula ujian dan cobaan), ternyata banyak pula hikmah yang bisa dipetik dari sebuah arti kehidupan.
Setelah mendapat cerita dari teman mengenai sekelumit kehidupannya dan akhirnya aku menelusuri kembali pengalaman pribadi tentang nilai kesabaran ternyata dapat diambil hikmah:
1. Anak muda/orang yang lebih muda ternyata harus mempunyai kesabaran yang lebih dalam menghadapi orang yang lebih tua (baca orang tua).
2. Orang yang lebih muda harus mempunyai kebesaran hati untuk mengalah dalam menghadapi orang yang lebih tua.
3. Orang yang lebih muda harus lebih bisa memahami apa yang dikehendaki orang yang lebih tua.
Jadi kesimpulannya sabar tidak hanya dimiliki oleh orang yang lebih tua dengan kata lain orang yang lebih muda harus mempunyai stok lebih banyak dalam segala hal dalam menghadapi orang yang lebih tua. Nha lho...
Tidak memungkiri ternyata anak-anak kami lebih berusaha memahami, mengerti dan mengalah terhadap kami sebagai orang tuanya...(jadi introspeksi diri...:-P)
Seiring dengan bertambahnya usia perkawinan otomatis bertambah pula umur dan pengalaman (serta tak ketinggalan bertambah pula ujian dan cobaan), ternyata banyak pula hikmah yang bisa dipetik dari sebuah arti kehidupan.
Setelah mendapat cerita dari teman mengenai sekelumit kehidupannya dan akhirnya aku menelusuri kembali pengalaman pribadi tentang nilai kesabaran ternyata dapat diambil hikmah:
1. Anak muda/orang yang lebih muda ternyata harus mempunyai kesabaran yang lebih dalam menghadapi orang yang lebih tua (baca orang tua).
2. Orang yang lebih muda harus mempunyai kebesaran hati untuk mengalah dalam menghadapi orang yang lebih tua.
3. Orang yang lebih muda harus lebih bisa memahami apa yang dikehendaki orang yang lebih tua.
Jadi kesimpulannya sabar tidak hanya dimiliki oleh orang yang lebih tua dengan kata lain orang yang lebih muda harus mempunyai stok lebih banyak dalam segala hal dalam menghadapi orang yang lebih tua. Nha lho...
Tidak memungkiri ternyata anak-anak kami lebih berusaha memahami, mengerti dan mengalah terhadap kami sebagai orang tuanya...(jadi introspeksi diri...:-P)
Minggu, 15 Februari 2009
Kesungguhan pembuka jalan...
Pagi hari hujan tiba-tiba, meski tidak seberapa lama dan tidak begitu deras namun cukup mengagetkan karena saat itu pagi hari nampak cerah, tak ada tanda-tanda akan turunnya hujan.
Hari itu dijadwalkan acara arisan teman haji bertempat dikediaman kami. Kekhawatiran hari-hari sebelumnya adalah karena sedang musim hujan. Namun Allah menjawab doa dan tanya kami, bagaimana acara nanti sedangkan hari disaat musim hujan, dan di bulan Februari ini curah hujan cukup tinggi.
Alhamdulillah sepanjang menjelang acara, cuaca cukup cerah sehingga teman-teman banyak yang hadir setelah sekian lama vakum dari acara silaturrahim ini. Dan di rumah ini pula terbentuklah kepengurusan yang baru serta serahterima pengurus lama ke pengurus baru.
Dengan berkumpulnya kami telah membangkitkan rasa rindu akan kebersamaan kami di tanah suci dulu. Ingin rasanya kami mengadakan perjalanan ke tanah suci bersama-sama lagi. Mungkinkah itu? (didunia ini tidak ada yang tidak mungkin, bila Allah telah berkehendak.)
Dengan silaturrahim ini menguatkan rasa persaudaraan kami kembali, yang secara pribadi agak turun karena jarangnya kehadiranku (dan suami-red) pada acara2 seperti ini.
Menjelang acara usai barulah hujan mengguyur daerah kami, namun itu tak berlangsung lama bagaikan sekedar menyejukkan suasana di hari yang mulai agak panas.
Alhamdulillah acara berjalan lancar, tak kurang suatu apa. Semua atas pertolongan Allah disaat-saat hambanya merasa lemah, pasrah dan tawakal dan merupakan hadiah yang indah dari Allah karena melihat (insyaAllah) kesungguhan kami untuk melaksanakan jawdal pertemuan ini.
Sebelumnya pun aku merasakan disaat hati benar-benar dan bersungguh-sungguh dalam berbuat kebaikan maka Allah akan memudahkan dalam segala urusan itu...
Ya Allah berilah hamba azzam yang kuat dalam segala hal kebaikan, dan mudahkanlah dalam segala urusan. Amin.
Hari itu dijadwalkan acara arisan teman haji bertempat dikediaman kami. Kekhawatiran hari-hari sebelumnya adalah karena sedang musim hujan. Namun Allah menjawab doa dan tanya kami, bagaimana acara nanti sedangkan hari disaat musim hujan, dan di bulan Februari ini curah hujan cukup tinggi.
Alhamdulillah sepanjang menjelang acara, cuaca cukup cerah sehingga teman-teman banyak yang hadir setelah sekian lama vakum dari acara silaturrahim ini. Dan di rumah ini pula terbentuklah kepengurusan yang baru serta serahterima pengurus lama ke pengurus baru.
Dengan berkumpulnya kami telah membangkitkan rasa rindu akan kebersamaan kami di tanah suci dulu. Ingin rasanya kami mengadakan perjalanan ke tanah suci bersama-sama lagi. Mungkinkah itu? (didunia ini tidak ada yang tidak mungkin, bila Allah telah berkehendak.)
Dengan silaturrahim ini menguatkan rasa persaudaraan kami kembali, yang secara pribadi agak turun karena jarangnya kehadiranku (dan suami-red) pada acara2 seperti ini.
Menjelang acara usai barulah hujan mengguyur daerah kami, namun itu tak berlangsung lama bagaikan sekedar menyejukkan suasana di hari yang mulai agak panas.
Alhamdulillah acara berjalan lancar, tak kurang suatu apa. Semua atas pertolongan Allah disaat-saat hambanya merasa lemah, pasrah dan tawakal dan merupakan hadiah yang indah dari Allah karena melihat (insyaAllah) kesungguhan kami untuk melaksanakan jawdal pertemuan ini.
Sebelumnya pun aku merasakan disaat hati benar-benar dan bersungguh-sungguh dalam berbuat kebaikan maka Allah akan memudahkan dalam segala urusan itu...
Ya Allah berilah hamba azzam yang kuat dalam segala hal kebaikan, dan mudahkanlah dalam segala urusan. Amin.
Jumat, 26 Desember 2008
hari baru hijriyah dan masehi
tahun baru tinggal menghitung hari...
harus bisa menata hidup lebih baik lagi
menjadi istri yang menyenangkan suami
menjadi ibu yang membahagiakan anak
menjadi manusia yang berguna bagi ummat
semoga Allah memudahkan langkah
Amin ya Yabbal 'alamin
harus bisa menata hidup lebih baik lagi
menjadi istri yang menyenangkan suami
menjadi ibu yang membahagiakan anak
menjadi manusia yang berguna bagi ummat
semoga Allah memudahkan langkah
Amin ya Yabbal 'alamin
Langganan:
Postingan (Atom)